news

RH dan Paradoks Kekuasaan: Melawan atau Bagian dari Penguasa?

Senin, 4 November 2024 | 22:41 WIB
Yulfi Alfikri Noer


Baca Juga: Baru Kemarin Meutya Hafid Pastikan Komdigi Bersih Kasus Ilegal, Kini Ternodai Usai Ada Oknum Pegawai yang Terlibat Judi Online

Pengalaman RH dalam jabatan publik memang memberinya wawasan mendalam tentang dinamika kekuasaan dan politik lokal. Namun, justru karena itu, narasi perlawanan terhadap penguasa bisa dipandang dengan skeptis.

Masyarakat Jambi yang semakin kritis bertanya-tanya, apakah RH benar-benar akan membawa perubahan signifikan, ataukah ia hanya mengulang pola kekuasaan lama dengan kemasan baru?

Sebagai bagian dari elite politik yang sudah lama berkuasa, janji RH untuk “melawan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan” terdengar seperti retorika yang lazim disuarakan politisi. Kenyataan bahwa ia telah lama berada di lingkaran kekuasaan menimbulkan keraguan terhadap ketulusan niatnya.

Walaupun RH berjanji untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan, pengalaman panjangnya dalam dunia politik bisa menjadi bumerang.

Publik mempertanyakan, jika ia benar-benar berniat melawan penyalahgunaan kekuasaan, mengapa tidak ia lakukan ketika memegang posisi strategis selama bertahun-tahun?

Selama dua periode kepemimpinannya sebagai Bupati, tidak terlihat perubahan signifikan dalam tata kelola yang substansial.

Ini memunculkan kesan bahwa janji perlawanan yang diusungnya hanyalah manuver politik untuk kembali meraih kekuasaan tanpa komitmen nyata untuk memperbaiki kondisi rakyat.

Situasi ini semakin diperparah oleh fakta bahwa narasi ‘melawan penguasa’ yang ia suarakan terasa paradoks karena dirinya sendiri merupakan bagian dari penguasa selama bertahun-tahun.

Lebih jauh lagi, rekam jejaknya sebagai pemimpin lokal selama dua periode akan menjadi bahan evaluasi kritis bagi masyarakat Jambi, yang kini harus lebih cerdas dalam menanggapi setiap klaim politik.

Jika selama masa kepemimpinannya tidak ada perubahan berarti dalam tata kelola pemerintahan, maka klaim untuk melawan penguasa ini bisa dianggap tidak relevan, bahkan berpotensi menjadi kontraproduktif.

Ketika kata-kata digunakan sebagai alat untuk membangun citra dan kepercayaan, penting bagi kita untuk mempertanyakan ketulusan di balik retorika yang diungkapkan para pemimpin.

Dalam kasus RH, tantangan bagi masyarakat Jambi adalah membedakan antara janji politik yang tulus dan sekadar permainan kata-kata.

Saat kita menilai rekam jejaknya, mari kita ingat bahwa kepercayaan adalah fondasi dalam hubungan antara pemimpin dan rakyat.

Sebagai masyarakat yang kritis, kita perlu terus menggali makna di balik setiap pernyataan dan tindakan, serta menuntut akuntabilitas nyata dari setiap pemimpin yang mengklaim sebagai pejuang rakyat.

Di tengah kontradiksi antara retorika dan realitas, masyarakat Jambi dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah kita dapat menaruh kepercayaan pada individu yang telah lama terlibat dalam struktur kekuasaan yang sama?

Namun, tidak semua janji yang diungkapkan para pemimpin merefleksikan ketulusan. Justru, sebagaimana terlihat dalam retorika politik RH, bahasa dapat menjadi alat manipulatif yang digunakan untuk membangun citra tanpa menunjukkan komitmen nyata.

Retorika politik, seperti yang ditampilkan RH, menunjukkan sisi gelap dari bahasa sebagai alat manipulasi. Sebagaimana Wittgenstein menggambarkan bahasa sebagai 'permainan' yang selalu terikat pada konteks, retorika politik RH menjadi contoh bagaimana kata-kata dapat digunakan tidak untuk mencerahkan, tetapi untuk membangun citra yang mungkin menyesatkan.

Halaman:

Tags

Terkini