10 Muharram, Hujan Tangisan Atas Syahidnya Al-Imam Al-Husain bin Ali, Cucu Kesayangan Rasulullah

Photo Author
- Minggu, 31 Juli 2022 | 23:56 WIB

Ditulis Oleh:
Al-Habib Prof.Dr.KH.R. Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.SAg.MA.PhD

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Peristiwa Karbala, 10 Muharram 61 Hijriah atau Hari Asyura', merupakan tragedi paling menyedihkan bagi umat Islam Seluruh Alam Semesta. Karena Pada hari itu, Al-Imam Al-Husain, cucu kesayangan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dibunuh dan dibantai di Karbala.

Kisah dibunuhnya cucu kesayangan Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, Al-Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib itu terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriah. Artinya hingga sekarang ini, peristiwa ini sudah berumur 1.383 tahun yang lalu.

Peristiwa dan tragedi ini sungguh sangat amat kejam dan tragis sekali, terutama bagi siapa saja mengkaji, meriset, merenungkan ataupun membaca sejarahnya. Karena yang dibunuh dan dibantai adalah orang yang sangat dicintai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Pembunuhan ini dilakukan oleh kelompok pro-khalifah pada masa itu. Yaitu pendukung Yazid bin Mu’awiyah.

Di awal kisah diceritakan, bahwa Para sahabat Al-Imam Al-Husain, yaitu: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan sahabat-sahabat yang lain telah mengingatkan Al-Imam Al-Husain untuk tidak berangkat menemui pendukungnya di Kufah Irak, karena kuat kemungkinan hal itu perangkap musuh untuk membunuh dirinya dan Ahlulbayt.

Namun komitmen dan keberanian Al-Imam Al-Husain yang teguh pendirian dan pemberani seperti ayahnya Ali bin Abi Thalib, membuatnya menolak saran nasehat sahabat-sahabatnya, meski ia tetap berterima kasih atas saran nasehat tersebut.

Berangkatlah Al-Imam Al-Husain dari Makkah menuju Kufah Irak bersama rombongan Ahlulbayt sebanyak 72 orang.

Sesampainya di Karbala, kurang lebih 100 KM barat daya Baghdad, rombongan cucu Rasulullah itu dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah.

AL-IMAM AL-HUSAIN MENJADI SYAHID

Terjadilah apa yang tidak seharusnya terjadi. Peperangan yang tidak seimbang antara pasukan Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Kufah, yang berjumlah 4000 – 10.000 melawan rombongan Al-Imam Al-Husain yang berjumlah 72, itu pun banyak yang perempuan. Kepala Husain dipenggal oleh seorang prajurit bernama Syamr bin Dziljausyan.

Al-Imam Al-Bukhari mengisahkan bagaimana penghinaan luar biasa terhadap Penghulu Pemuda Surga itu: “Dari Anas bin Malik, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidillah bin Ziyad. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidillah bin Ziyad menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas mengatakan, “Di antara Ahlulbayt, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” Saat itu, Husain disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam).” (HR. Bukhari).

Sebelum peristiwa memilukan dan mengenaskan ini terjadi, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah diberitahu akan terbunuhnya Sayyidina Husain. Dalam sebuah hadis diriwayatkan mengenai peristiwa terbunuhnya Sayyidina Husain.

رُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ مَنْزِلِيْ إِذْ دَخَلَ عَلَيْهِ الْحُسَيْنُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَطَالَعْتُهُمَا مِنَ الْبَابِ وَإِذَا اَلْحُسَيْنُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى صَدْرِ النَّبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْعَبُ وَفِيْ يَدِ النَّبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِطْعَةٌ مِنْ طِيْنٍ وَدُمُوْعُهُ تَجْرِيْ

Diceritakan dari Ummi Salamah – Radhiyallaahu ‘anhaa - beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam rumahku, tiba-tiba masuklah Husain Radhiyallahu ‘Anhu kepada beliau. Maka aku memandang keduanya dari pintu. Saat itu Husain Radhiyallahu ‘Anhu bermain-main di atas dada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sementara di tangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada sebongkah tanah, dan air mata beliau mengalir".

فَلَمَّا خَرَجَ الْحُسَيْنُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ دَخَلْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ بِأَبِيْ وَأُمِّيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ طَالَعْتُكَ وَفِيْ يَدِكَ طِيْنَةٌ وَأَنْتَ تَبْكِيْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيْ لَمَّا فَرِحْتُ بِهِ وَهُوَ عَلَى صَدْرِيْ يَلْعَبُ أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَنَاوَلَنِيْ اَلطِّيْنَةَ الَّتِيْ يُقْتَلُ عَلَيْهَا فَلِذَلِكَ بَكَيْتُ

"Dan ketika Husain Radhiyallahu ‘Anhu sudah keluar, maka akupun masuk kepada beliau, maka aku berkata: “Dengan bapakku dan dengan ibuku, aku melihat engkau, ditangan engkau ada tanah sambil engkau menangis, maka beliaupun bersabda kepadaku: “Ketika aku bersuka-cita dengannya sementara dia di atas dadaku sambil bermain-main, maka datanglah Malaikat Jibril ‘Alaihis Salaam kepadaku. Dia memberiku tanah yang mana dia akan dibunuh di atasnya, maka karena itulah aku menangis".

Dalam kitab Nuuruzhzhalaam karya Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Azhmatkhan halaman 35, dikisahkan:

وَرُوِيَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا اَلْقَارُوْرَةَ الَّتِيْ فِيْهَا تُرْبَةُ مَقْتَلِ الْحُسَيْنِ وَتُركِتْ عِنْدَهَا

Diceritakan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberinya (Ummu Salamah) sebuah botol yang di dalamnya ada tanah tempat dibunuhnya Husain. Botol tersebut ditinggalkan di sisinya.

وَذَلِكَ لَمَّا جَاءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِبْرِيْلُ وَأَخْبَرَهُ أَنَّ الْحُسَيْنَ مَقْتُوْلٌ فِي هَذَا التُّرَابِ وَأَرَاهُ مِنْ تُرْبَةِ الْأَرْضِ الَّتِيْ يُقْتَلُ فِيْهَا وَشَمَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ التُّرَابَ فَقَالَ وَيْحَ كَرْبَلَاءَ وَقَالَ لَهَا إِذَا صَارَ هَذَا التُّرَابُ دَمًا فَقَدْ قُتِلَ اِبْنِيْ اَلْحُسَيْنُ

Hal itu adalah ketika Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dia mengkhabarkan beliau bahwasanya Husain akan dibunuh di atas tanah ini, dan dia (Malaikat Jibril) memperlihatkan kepada beliau dari tanahnya bumi di mana Husain akan dibunuh di atasnya, dan beliaupun mencium tanah tersebut seraya berkata: “Celaka Karbala !”

Dan beliau berkata kepada Ummu Salamah: “Jika tanah ini sudah menjadi darah, maka anakku, Husain dibunuh.”

فَانْتَبَهَتْ وَقَالَتْ لِجَارِيَتِهَا اِذْهَبِيْ إِلَى السُّوْقِ فَانْظُرِيْ مَا الْخَبَرُ فَرَجَعَتْ إِلَيْهَا الْجَارِيَةُ وَقَالْتْ قُتِلَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Dan (ketika dilihatnya tanah menjadi darah) maka terperanjatlah Ummu Salamah. Dia berkata kepada budak perempuannya: “Pergilah engkau ke Pasar. Lihatlah ada berita apa (di sana).”. (diapun pergi ke Pasar) dan pulanglah dia ke Ummu Salamah. Dia berkata: Husain bin Ali Radhiyallaahu ‘Anhu dibunuh.”

TRAGEDI KARBALA, SEJARAH KEKEJAMAN PALING KEJAM DALAM SEJARAH HIDUP MANUSIA

10 Muharram 1444 H, tepatnya 1383 tahun yang lalu, tragedi Karbala terjadi. 72 keturunan terakhir Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam dibantai dengan brutal dan kejam oleh Rezim Yazid bin Muawiyah di tepi sungai Eufrat Irak.

Al-Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang seharusnya menjadi Khalifah ke lima menggantikan sayidina Ali bin Abi Thalib, tewas dipenggal, dipancung dengan kejam biadab oleh Syimir bin Dzil Jausyan, salah satu anggota pasukan pimpinan Yazid. Bibirnya remuk dicincang, kepalanya terputus dari lehernya.

Al-Husain adalah pemuda yang diberi tugas oleh ayahnya untuk melindungi Khalifah Utsman dari usaha pembunuhan kaum khawarij (teroris radikalis).

Al-Husain adalah pemuda yang tak pernah absen membela panji Islam dalam perang-perang melawan kaum kafir, kaum musyrikin, kaum munafiq.

Al-Husain adalah pemuda yang mati syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya, yaitu Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

Nabi Muhammad memberi julukan cucunya tersebut dengan kalimat mulia: “Husain adalah Pemimpin Pemuda di Surga”.

Sepeninggal Rasulullah, jika para sahabat rindu kepada sang Nabi, mereka akan menemui Al-Husain karena wajahnya sangat mirip dengan paras wajah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Sebuah riwayat hadits mengisahkan, ketika mendengar Sayyidah Fathimah Az-Zahra akan melahirkan anak kedua, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian lahirlah Al-Husain.

Asma’ binti Umais, adalah Bidan yang membantu Fathimah Az-Zahra melahirkan Al-Husain, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi ini, lalu diberi nama oleh Rasulullah dengan nama Al-Husain, semakna dengan nama kakaknya: Al-Hasan yang berarti kebajikan.

Ketika, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam sedang asyik menciumi sang cucu mulia ini, Al-Husain.

Tiba-tiba Nabi termangu sedih. Air mukanya yang tadinya ceriah berubah menjadi muram, dari sudut matanya mengalir butiran air mata. Asma’ pun (Istri Rasulullah) segera bertanya, “Mengapa di Hari Bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?”

Dalam isak tangisnya, Rasulullah menjawab: “Malaikat Jibril baru saja mendatangiku, dia membawa kabar, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Malaikat Jibril juga menunjukkan padaku tanah di mana Al-Husain ini terbunuh.”

Ibnul Atsir dalam Kitab Tarikh Al-Kamil menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan yang didapat dari Malaikat Jibril kepada Ummu Salamah. Tanah tersebut berasal dari tempat di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah pembantaian. Malaikat Jibril mengambilnya dari tempat yang kita kenal sebagai KARBALA.

Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berpesan kepada Ummu Salamah (istrinya), “Simpan tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Husein telah syahid.”

Dan, saat itu, tanggal 10 Muharram 61 H, bertepatan dengan 10 Oktober 680 Masehi, Ummu Salamah (Istri Nabi) menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah menjadi merah. Maka sadarlah ia, cucu kesayangan nabi itu telah menyusul kakeknya ke Surga Allah. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Imam Al-Husain.

Perang Karbala adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah Perang Jamal dan Perang Shiffin.

Beberapa ulama sejarah menyatakan bahwa pembantaian Karbala adalah kelanjutan dari perang Shiffin dan penuntasan dendam kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan terhadap keluarga Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam.

Dalam buku yang ditulis oleh Sheikh Ibrahim Nasralla “The Traces of Ale Mohammad in Aleppo”, dikisahkan saat rombongan pasukan ini tiba di kota Aleppo, mereka memutuskan beristirahat di dekat biara Mart Ruta. Kepala Al-Husain kembali dikeluarkan dan ditancapkan di ujung tombak. Para pendeta dari biara ini mengaku melihat dengan jelas ada cahaya terang yang memancar dari kepala Al-Husain. Seorang kepala biarawan lalu mendekati para pengawal seraya bertanya:

“Kepala ini, siapakah dia?” Tanya sang pendeta.

“Kepala Hussain bin Ali bin Abi Thalib! ” celetuk para pasukan.

Alangkah terkejutnya si pendeta Nasrani mendengar jawaban itu. Dia tak pernah menyangka akan melihat keluarga Nabi Muhammad diperlakukan sekeji itu. Kepala biarawan ingat sebuah kisah ketika seratus tahun sebelumnya seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira berusaha menyelamatkan kakek Husain dari usaha pembunuhan para penjahat Quraisy. Hari itu dia melihat penerus risalah kenabian Islam dibunuh oleh tangan kaumnya sendiri.

“Seburuk-buruk bangsa adalah kalian. Terkutuk dan dihinakan!”, seru sang pendeta Nasrani.

“Demi Allah, andai Isa mempunyai putera niscaya kami akan muliakan dia dan masukkan ke laman-laman kami”.

Kemudian sang pendeta berkata, “Wahai sekalian orang. Aku mempunyai 10,000 dinar yang aku warisi dari ayahku. Maukah kalian meminjamkan kepala ini kepadaku untuk satu malam bersamaku, dan untuk itu aku berikan pada kalian 10,000 dinar itu?”.

Tergiur oleh tawaran kepala biara, pasukan Yazid akhirnya menyerahkan kepala Al-Husain untuk bermalam di biara.

Demikianlah, beberapa pendeta Nasrani yang bijaksana mengambil kepala Al-Imam Al-Husain dari para pengawal Yazid. Dalam kesedihan mereka membawa kepala Al-Husain ke dalam gereja. Dengan hati-hati mereka membersihkan kepala Al-Husaini, membasuh luka-luka dan menghapus debu dari wajahnya. Mereka juga menyisir dan merapikan rambutnya serta mengusapnya dengan minyak wangi. Para pendeta itu menangis sedemikian rupa hingga air matanya membasahi jenggot mereka yang panjang. Kepala pendeta kemudian meletakkan kepala Al-Husain di atas sebuah batu di tengah Altar.

Seluruh pendeta di biara itu lantas berkumpul, mereka bersimpuh pada lututnya mengelilingi kepala Al-Husain.

Sejarah mencatat malam itu para pendeta menderaskan doa diselingi isak tangis atas kepergian Al-Husain. Mereka berdoa sepanjang malam hingga subuh menjelang pagi dan baru berhenti ketika pasukan Yazid mengambil kepala itu untuk dibawa pergi. Dan setelah rombongan tentara Yazid meninggalkan biara, para pendeta tersebut terus melantunkan doa-doa rintihan untuk mengenang cucu sang Nabi.

Sepeninggal pasukan Yazid, tidak ada yang tahu pasti di mana kepala Al-Husain dikuburkan.

Ada yang meriwayatkan bahwa kepala tersebut dikuburkan di makam Baqi, ada yang meriwayatkan dibawa ke Kairo. Banyak yang meyakini bahwa kepala itu dikuburkan di tempat rahasia di Ashkelon, tapi tak sedikit juga yang yakin bahwa kepala Al-Husain dimakamkan di Damaskus.

Hingga hari ini, makam kepala Al-Imam Al-Husain telah menjadi misteri besar dalam sejarah Islam yang tak pernah terungkap.

Tak seorang pun yang tahu di mana kepala itu dimakamkan sebagaimana tak ada yang tahu di mana ibundanya, Fathimah binti Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam dimakamkan.

Sungguh pantas kita berkabung atas penghinaan terhadap Al-Husain dan keluarga Rasulullah ini.

Kebanyakan umat Islam hanya melihat peristiwa Karbala pada aspek material dan melupakan sisi-sisi revolusi spiritual dan sosial dari peristiwa tersebut.

Bahkan di kalangan Muslim masih ada yang berpendapat bahwa pembantaian keluarga Nabi Muhammad di Karbala adalah kejadian biasa dan tak lebih sebagai konsekuensi politik dari perlawanan keluarga Rasulullah kepada keluarga Abu Sofyan yang berkuasa. Karena itu, tragedi ini tak pantas dikenang dan dibesar-besarkan.

Jika kita tidak menangis saat mendengar kisah terbunuhnya Al-Husain, itu bukan karena kisah itu tidak layak ditangisi tapi karena hati kita sudah mati, sudah membatu dan membeku. Al-Imam Al-Husain adalah miliki bersama. Wajib kita umat Islam berduka atas kejamnya pembantaian Cucu Kesayangan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Semoga Allah Muliakan Al-Imam Al-Husain, dan terus menjadi teladan bagi kita semua. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

X