daerah

Sukarela Mengajar Anak-anak Suku Anak Dalam, Rismawan Bertekad Hapus Stigma Negatif SAD

Kamis, 14 Juli 2022 | 15:53 WIB
Anak-anak Suku Anak Dalam yang belajar, di bawah asuhan Rismawan.

LANGITVIRAL.COM - Terik dan panasnya matahari tidak mematahkan semangat Rismawan, yang tulus mengajar anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) di tengah kecilnya ruang mengajar yang beratap terpal, dan kayu sebagai tembok. Tantangan ini tidak menjadi soal bagi Rismawan. Baginya, yang penting bertemu dan mengajar anak-anak tersebut.

Ahmad Rismawan merupakan pria berusia 22 tahun yang menjadi salah satu pengajar di Sekolah Rimbo Pintar. Wawan, begitu sapaan akrabnya, adalah warga asli Kota Jambi, yang lahir dan besar di Kabupaten Sarolangun.

Pada tahun 2016, kelompok SAD Tumenggung meminta kepada Balai Taman Nasional untuk mendirikan sekolah. Selang beberapa waktu setelah musyawarah, berdirilah sekolah di daerah Sungai Kuning. Sayangnya setelah sekolah berdiri, belum punya pengajar.

“Awalnya sekolah belum punya pengajar, kemudian saya lihat postingan salah satu Kader Konservasi Balai Taman Nasional yang bersedia mengajar anak-anak tersebut, pak Suroto namanya,” jelas Wawan. Sambil tersenyum Wawan menambahkan, mulai dari situ lah hatinya tergerak untuk ikut Suroto mengajar anak-anak SAD.

BACA JUGA: Ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto Tunda Pertemuan dengan Menteri PUPR, Ada Apa?

Salah satu alasan Wawan tertarik ikut di pemberdayaan SAD, karena adanya pandangan negatif masyarakat tentang beberapa anak-anak SAD. Seperti isu mencuri buah-buahan atau barang yang bukan haknya ketika sedang berjalan di lingkungan masyarakat desa sekitar.

“Dari situ saya bertekad ingin menghapuskan stigma negatif tersebut di masyarakat, dan meyakinkan kepada mereka bahwa anak-anak SAD juga mampu dididik dengan baik," kata Wawan dengan antusias. “Jika dapat membantu SAD lebih baik, mengapa tidak?” tambahnya.



Selama satu tahun bergabung sebagai pengajar, Wawan harus menempuh empat jam perjalanan pulang pergi untuk sampai sekolah. Wawan bahkan sempat mengajar dengan sukarela alias tidak mendapat bayaran sama sekali.

“Saya mengajar tidak hanya di sekolah Rimbo Pintar saja, tetapi juga di sekolah Rimba Sako Selensing, dan waktu awal pertama juga sempat tidak bayaran selama satu tahun,” kenang Wawan.

BACA JUGA: Menteri ESDM Apresiasi Kontribusi Hulu Migas Pada Penerimaan Negara

Hal yang tak pernah Wawan sangka, pada tahun 2019 ia direkrut oleh PT SAL dan hingga saat ini sudah berjalan 2 tahun selama ia mengajar.

Ya, memang PT Sari Aditya Loka (SAL) 1 telah bekerjasama dengan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Sarolangun, Jambi untuk memberikan pendidikan khusus bagi SAD. Harapan PT SAL 1 sama dengan Wawan, yaitu membantu Suku Anak Dalam untuk dapat bersosialisasi dan mendapatkan Pendidikan layak seperti anak-anak pada umumnya.

Tak hanya sampai di situ, Wawan juga bercerita dengan semangatnya bahwa selama ia bergabung menjadi pengajar banyak sekali pengalaman menarik, khususnya saat pertama kali ia bertemu dengan anak-anak dari Suku Anak Dalam.

“Bayangkan saja, saya ditantang oleh anak-anak umur 10 sampai 15 tahun untuk berhitung, waaah dalam hati tentu saja saya merasa tertantang,” ungkap Wawan. Pada saat itu, dirinya tidak serta merta diterima oleh SAD ketika memutuskan untuk mengajar.

BACA JUGA: Chika Sebut Belum Bertemu Langsung dengan Septia Siregar

Banyak sekali tantangan dan kendala awalnya. Wawan tak patah semangat. “Ini salah, berarti kamu bukan guru,” kata salah satu anak SAD yang ia ajar. Itu satu dari sekian penilaian awal yang Wawan dapatkan pertama kali.



Dengan kegigihan dan niat baik Wawan, ia terus mencari ide dan cara bagaimana bisa perlahan-lahan masuk dan diterima dengan baik sebagai pengajar, sehingga akhirnya terpikirkan oleh Wawan bahwa anak-anak SAD sangat tertarik dengan hal-hal baru.

“Anak-anak masih belum bisa kami ajarkan layaknya anak-anak pada umumnya, jadi kami sebagai pengajar tidak langsung ajarkan baca tulis hitung, nanti mereka kaget,” cerita wawan.

Salah satu hal baru yang dilakukan oleh Wawan dan pengajar lainnya untuk mengajar adalah ikut anak-anak pergi ke sungai, ajak mereka bermain ke luar dan tentunya para pengajar ikut turun bermain Bersama, dengan maksud agar anak-anak lebih terbuka dan akrab dengan para pengajar.

BACA JUGA: Brimob Asal Jambi Tewas Ditembak, Mabes Polri: Sempat Todong Senjata ke Istri Kadiv Propam

“Nah di sungai itu kita cari celah gimana caranya pelan-pelan sambal ajarkan pelajaran, misalnya saya coba ajarkan berhitung ikan-ikan yang ada di sungai” katanya sambil mengenang. “Ketika mereka mulai merasa tertarik baru kami memberikan alat-alat tulis bagi anak-anak tersebut,” tambah Wawan.

Wawan bercerita bahwa tahun 2019 diadakan program kelas jauh (Sekolah formal di SD Negri 191 Pematang Kabau) dari Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Program tersebut ditujukan kepada anak-anak yang sudah cukup umur serta karakter dan akademinya sudah mampu untuk bersaing dengan anak-anak di desa pada umumnya dan dibantu administrasi, seragam, alat tulis, serta perlengkapan sekolah lainnya beserta uang saku.

“Mulai dari KTP, akte lahir, dan KTP orang tua semuanya disiapkan untuk didaftarkan ke sekolah SD formal,” kata anak muda tersebut. Untuk tetap bertahan, Wawan bercerita jika dahulu melakukan pendekatan dilakukan kepada orang tua agar orang tua merasa terbuka kepada pengajar.



“Jika pendekatan langsung dilakukan kepada anak-anak belum tentu saya dan yang lainnya langsung diterima,” katanya. Menurut Wawan hal tersebut sudah berbeda dengan sekarang karena dari anak-anak yang sudah lebih besar atau sudah terbentuk.

BACA JUGA: Sosok ini Bongkar Fakta Baru Rumah Tangga Nathalie Holscher dan Sule

“Jika ada permasalahan seputar anak-anak, kami langsung menghubungi  orang tua mereka karena bukti bahwa pendekatan kami dengan orang tua,” katanya. Lantaran sudah merasakan suka duka mengajar anak-anak SAD, menurutnya mengajar anak-anak SAD menjadi tantangan tersendiri baginya.

“Hal tersebut merupakan sesuatu yang melanggar aturan adat terutama bagi perempuan,” katanya sambil menunjuk salah satu anak perempuan di keluarga Bepayung yang tidak sekolah. Wawan mengatakan hal tersebut karena faktor dari keluarga yaitu paman dan neneknya tidak mendukung, sehingga anak tersebut tidak sekolah.

“Orang tuanya mendukung, anak perempuan tersebut juga ingin sekali untuk sekolah. tetapi paman dan nenek tidak mendukung,” Ucapnya sambil menunjukkan ekspresi sedih. Wawan bercerita bahwa keluarga Bepayung belum semuanya bisa untuk keluar dan masih di dalam hutan, tetapi kalau untuk belajar bersama bisa dilakukan.

Wawan mengutarakan harapannya. “Saya berharap anak-anak SAD pendidikannya cukup dan setara dengan anak-anak di luar sana. Minimal satu atau dua anak menjadi gamabaran bagi orang tua dan anak-anak lainnya,” kata Wawan dengan mata berkaca-kaca.

BACA JUGA: Sapi Jokowi di Jambi Diberi Nama Brahman Cross

Rutinitas mengajar yang sering dilakukan Wawan setiap hari rupanya tidak membuatnya jenuh karena hal tersebut merupakan hal yang disukainya terutama berada di hutan. Menurutnya hal tersebut merupakan hiburan sehabis mengajar sambil ditemani kopi hangat di pinggir sungai. (oet)

Tags

Terkini

Tanam 600 Bibit Jengkol, Ini Harapan PT SAL dan TNBD

Jumat, 26 September 2025 | 17:21 WIB